Oleh : Andhika Haryawan
Salah satu ciri kedewasaan seseorang adalah ia mampu melaksanakan setiap kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya tanpa harus ditagih-tagih, atau diberi dorongan dari luar, sehingga ia melaksanakan setiap kewajiban atas dasar kesadaran pribadi dan dilakukan dengan cara sepenuh hati. Seperti halnya sholat yang lima, itu adalah kewajiban seorang muslim apabila syaratnya telah terpenuhi yaitu islam, baligh, dan berakal. Apabila ada seorang muslim yang sudah baligh (dewasa) namun tidak memiliki kesadaran pribadi untuk melaksanakan kewajiban shalat, maka bolehlah kita menduga bahwa yang bersangkutan tidak berakal alias gila.
Pun demikian halnya dengan kewajiban-kewajiban yang hubungannya dengan sesama manusia. Ketika kita masuk sebuah sekolah atau kampus, maka kita secara otomatis sepakat dengan segala bentuk tata tertib dan aturan yang ada, termasuk kewajiban-kewajiban kita di dalamnya. Apabila kita tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, bahkan tidak sadar akan kewajibannya, coba di evaluasi lagi, kita masih punya akal atau tidak?
Dua contoh dari sekian banyak contoh kewajiban seorang pembelajar adalah mengikuti kegiatan belajar mengajar dan membayar SPP. Oleh karena itu, laksanakan kedua hal ini dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Datanglah dalam kegiatan belajar mengajar tepat waktu, akan lebih baik jika datang sebelum pengajar datang, sungguh-sungguh dalam mendengarkan, mencatat apa yang disampaikan, dan sebagainya. Bayarlah SPP tepat waktu, karena itu adalah biaya operasional sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan, dan pada akhirnya itupun akan kembali manfaatnya kepada kita. Apabila dua hal ini tidak tertunaikan, masih merasa yakin punya akal? Coba dicek lagi.
Apabila kita menuntut teladan, coba inget-inget waktu awal-awal baru belajar di sebuah lembaga pendidikan. Tentu, diawal-awal kita dikasih tahu dan diberi contoh bagaimana seharusnya kita belajar di lembaga tersebut sehingga kita dapat menjadi pembelajar yang berhasil. Sebagai contoh ketika kita belajar di pesantren mahasiswa, di semester-semester awal kita diberi contoh untuk bagun lebih awal, shalat subuh, dzikir pagi, menunggu ustadz datang (bukan justru ditunggu oleh ustadz), bahkan kita diberi contoh untuk membuatkan ustadz minum.
Inget gak hal-hal diatas, kalau kemudian pada semseter-semester tua di pesantren mahasiswa kita didiamkan, itu bukan berarti kita tidak diberi contoh, tapi kita sedang dilatih mandiri supaya tidak melulu tergantung dengan sistem atau tergantung faktor pendorong dari luar lainnya. Contoh itu diawal-awal, kalau sudah senior masih minta diberi contoh, itu namanya manja, tidak bisa mandiri, bisa jadi selama ini kita memang tidak mempelajari apapun meskipun telah diberi dan diajari banyak hal, sehingga masih menuntut ini dan itu, andaikata tuntutan itu dipenuhi saat ini, kelak akan muncul tuntutan yang sama, karena yang bermasalah adalah kita yang tidak pernah sungguh-sungguh belajar.
Apabila kita tidak selesai dengan kewajiban-kewajiban kita saat ini, maka kita tidak akan pernah naik level. Kewajiban yang seperti ini saja kita tidak mampu menunaikannya, apalagi kewajiban-kewajiban yang lebih berat. Apabila kita tidak tuntas dengan pemahaman-pemahanan dasar, maka kita tidak akan pernah naik level. Pemahaman dasar saja gak paham, gitu kok berharap dapat memahami hal-hal besar. Ketahuilah bahwa narasi-narasi besar didahului oleh pemahaman akan hal-hal kecil, seperti halnya bangunan besar yang dibuat dengan didahului oleh sebuah batu kecil, atau seperti lari maraton yang di dahului oleh satu langkah kecil. [ ]