Demokrasi : Haram di Saudi, Boleh di Indonesia

Oleh : Andhika Haryawan

Pada tahun 2007 silam, guru kami beliau Ustadz Muhammad Abdullah Sholihun beserta rombongan dari Indonesia berkunjung ke Arab Saudi. Salah satu agenda kunjungan tersebut adalah bertemu dengan Grand Mufti Arab Saudi yaitu beliau Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh. Pada saat bertemu dengan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, ada 3 pertanyaan yang ditanyakan oleh guru kami beserta rombongannya, salah satunya yaitu terkait pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Setelah diajukan pertanyaan terkait pelaksanaan demokrasi di Indonesia, beliau –yang saat itu hingga sekarang menjabat sebagi Ketua Dewan Ulama senior dan Ketua Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi– menunduk cukup lama dan kemudian berkata, “Demokrasi di Indonesia boleh, karena itu babnya maslahah lil-umah, bukan aqidah”.

Sesampainya di Indonesia, pendapat Grand Mufti Arab Saudi ini disampaikan kepada mereka yang sebelumnya menolak dan mengharamkan demokrasi, termasuk ustadz-ustadz salafy di Yogyakarta. Setelah mendengar pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mereka hanya berkata, “Siapa saya hingga mampu melampaui pendapat beliau.”

Demikianlah hukum seputar demokrasi, haram di Arab Saudi karena sejak awal berdirinya, Arab Saudi telah menetapkan monarki (kerajaan) sebagai bentuk pemerintahannya. Sedangkan boleh di Indonesia karena sejak awal berdirinya, Indonesia telah menyepakati demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Apabila bentuk pemerintahan sebuah negara diubah secara paksa kedalam suatu bentuk pemerintahan yang lain, maka dikhawatirkan akan timbul fitnah dan pertumpahan darah yang mudharat (kerugian)-nya lebih besar.

Selain Grand Mufti Arab Saudi diatas, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama juga membuat surat pernyataan bersama tertanggal 31 Oktober 2018, dimana salah satu isi dari surat pernyataan tersebut adalah “mendukung sistem demokrasi dan proses demokratisasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan nasional.”

Berdasarkan pendapat ulama dan ormas islam yang memiliki kredibilitas dalam mengeluarkan pendapat/fatwa, maka telah jelaslah bagi kita bagaimana menyikapi demokrasi di Indonesia. Apabila ternyata masih terdapat pertentangan antara pihak yang menolak dan menerima demokrasi, maka sesungguhnya perbedaan itu adalah sesuatu yang wajar. Perihal mereka mau menolak atau menerima itu adalah pilihan mereka, pun demikian sebaliknya bagi kita. Bagi kita yang lemah dan fakir akan ilmu, pilihan terbaik adalah mengikuti pendapat mereka yang memiliki ilmu,  yaitu ulama besar (ulama kibar) dan ormas islam yang di dalamnya berkumpul para ulama umat islam, insya Allah pendapat mereka lebih menentramkan hati. Wallahu a’lam bish-shawab [ ]

Leave a Reply

Your email address will not be published.