Oleh : Andhika Haryawan
Diriwayatkan sepenggal kisah tentang pengalaman Imam Al-Ghazali tatkala beliau dalam perjalan pulang dari menuntut ilmu di Thurs. Di tengah perjalanan Imam Ghazali beserta rombongannya dicegat oleh perampok. Para perampok itu mengambil seluruh barang berharga milik rombongan tersebut, termasuk buku-buku catatan Imam Al-Ghazali. Singkat cerita Imam Al-Ghazali mengikuti perampok itu hingga ke markas mereka, dan sesampainya disana Imam Al-Ghazali meminta buku-bukunya dikembalikan.
“Demi Dzat yang kamu harapkan keselamatan darinya, tolong kembalikanlah barang milikku. Itu hanya sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu.” Pinta Imam Al-Ghazali.
“Apa isinya?” Tanya salah seorang perampok.
Imam Al-Ghazali menjawab : “Itu hanyalah buku, saya sengaja pergi ke Thurs untuk mendengarkannya, menulisnya, dan mengetahui ilmunya.”
Perampok itu tertawa seraya berkata : “Bagaimana kamu dapat mengatakan bahwa kamu mengetahui ilmunya padahal kami telah mengambil bukumu, jika demikian, kamu sudah tidak memiliki ilmu lagi?”
Akhirnya para perampok itu berkenan mengembalikan buku-buku Imam Al-Ghazali.
Kemudian, sesampainya di kampung halaman beliau langsung memulai menghafal seluruh ilmu yang beliau pelajari, sehingga apabila suatu saat beliau dicegat perampok lagi, beliau tidak akan kehilangan ilmu.
Kejadian yang sama juga terjadi kepada penulis, buku-buku catatan penulis bukan dicegat perampok melainkan dimakan rayap. Catatan kuliah selama lebih dari 4 tahun dan catatan ngaji selama lebih dari 2 tahun habis dimakan rayap. Padahal penulis belum sempat menghafalkan seluruh ilmu yang penulis pelajari. Hal ini kemudian menjadi pelajaran berharga bagi penulis untuk senantiasa mengulang-ulang pelajaran yang telah ditulis dan menghafalkannya, supaya apabila buku-buku catatan kita dimakan rayap atau rusak oleh sebab lain kita tidak terlalu menyesal.
Menurut penulis memang demikianlah seharusnya ilmu diperlakukan, disimpan dalam hati. Apabila ilmu hanya ditulis atau dicetak di dalam kertas, sungguh hal itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi pemiliknya. Oleh karena itu, tidak usah heran apabila ada orang yang memiliki koleksi buku yang banyak, atau memiliki catatan yang banyak namun ia tidak memiliki kapasitas keilmuan yang seharusnya ia miliki. Karena seseorang dikatakan berilmu bukan karena ia memiliki koleksi buku yang banyak, akan tetapi terkait bagaimana ia membaca, memahami dan mengamalkan ilmu yang ia miliki. Karena sesungguhnya ilmu adalah apa yang ada di dalam dada (hati) kita, bukan yang ada di tumpukan buku. [ ]