Ditulis oleh : Andhika Haryawan
sumber gambar : http://komunikasi.um.ac.id/
Seringkali penulis melihat beberapa orang salah memahami persoalan nasionalisme dan membenturkannya dengan Islam. Sebenarnya apapun pemikiran orang dan apapun pendapat orang adalah hak orang tersebut, tidak ada yang melarang. Namun, ketika orang tersebut salah memahami suatu persoalan, kemudian menganggap seperti itulah persoalan itu dipahami oleh orang lain, maka ini menjadi masalah. Sederhananya, ia berimajinasi bahwa orang lain memahami suatu persoalan sebagaimana yang ia pahami, kemudian ia menghukumi pemahaman tersebut. Padahal pada hakikatnya ia sedang menghukumi imajinasinya sendiri, bukan menghukumi pemahaman orang lain.
Pun demikian dengan nasionalisme, mereka memahami persoalan ini sebagian saja, tapi mereka merasa seolah-olah sudah memahami persoalan ini secara utuh, kemudian membenturkannya dengan Islam. Perlu diketahui bahwa nasionalisme adalah sunnatullah, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hujurat ayat 13 : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Selain itu, Rasulullah pun merasakan nasionalisme, seperti yang beliau ceritakan sendiri ketika merindukan tempat kelahiran beliau, “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas r.a.)
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa nasionalisme, berbangsa-bangsa, mencintai tanah air, dan ungkapan sejenis adalah kehendak Allah dan dirasakan juga oleh Rasulullah. Apabila Allah telah berkehandak, memang siapa yang dapat menghalangi kehendak Allah. Dalam hal ini Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, “Dan segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah sunnatullah yang juga dirasakan oleh Rasulullah, jadi tidak mengapa apabila kita memiliki rasa nasionalisme. Adapun nasionalisme yang tidak boleh adalah nasionalisme yang dipahami sebagai agama, bahkan lebih tinggi dari agama, sebagaimana pemahanan beberapa orang yang saya singgung diatas. Jika seperti ini maka tidak boleh, tapi jika nasionalisme dipahami dalam koridor syari’at dan tidak bertentangan dengan syari’at maka ini boleh, sebagaimana dirasakan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam. [ ]