Pendidikan Fitrah di Masa Pandemi

Ditulis oleh : Andhika Haryawan

sumber gambar : www.manageengine.com

Sesungguhnya manusia ketika ia dilahirkan ke muka bumi, ia berada dalam keadaan fitrah. Keadaan fitrah adalah kondisi default manusia, yaitu kondisi dimana manusia senantiasa cenderung terhadap kebaikan. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, karakter manusia menjadi bermacam-macam, sebagian baik dan sebagian yang lain tidak baik. Hal ini berkaitan erat dengan anugerah yang Allah berikan kepada manusia yaitu berupa akal (‘aql) dan kehendak bebas (nafs).

Dengan kedua anugerah ini manusia mengarungi samudera kehidupan. Berkelana di berbagai lingkungan yang pada akhirnya membentuk karakter mereka. Sebagian dari mereka tetap pada fitrahnya, yaitu menjadi insan yang baik. Sementara sebagian yang lain terwarnai bahkan ternodai oleh faktor-faktor eksternal yang bersinggungan dengan mereka selama mereka menjalani kehidupan ini.

Gambaran mengenai keadaan manusia yang hidup sudah sesuai fitrahnya dan yang belum, dapat terlihat dari kehidupan sosial-masyarakat mereka. Apabila kehidupan di suatu masyarakat tertib, aman, dan tentram, maka dapat disimpulkan bahwa anggota masyarakat tersebut (manusianya) telah hidup sesuai fitrahnya. Namun sebaliknya, apabila di suatu masyarakat justru kerap terjadi tindak kriminalitas, maka ini adalah tanda bahwa sebagian anggota masyarakat pada komunitas tersebut tidak hidup sebagaimana fitrahnya.

Rz. Ricky Satria Wiranata (2021) mengutip pendapat Ahmad Tafsir mendefinisikan fitrah sebagai potensi atau kemampuan yang baik dari setiap individu manusia. Adapun menurut ahli bahasa, Rz. Ricky Satria Wiranata (2021) mengungkapkan bahwa fitrah adalah naluri atau pembawaan serta tabiat atau watak (karakter) yang diciptakan Allah pada manusia. Adapun konsep barat yang mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan fitrah ialah teori John Locke tentang tabula rasa.

Teori tabula rasa yang dikemukakan John Locke memandang bahwa manusia itu putih bersih, ibarat kertas yang belum dicoret-coret. Lingkungan dan pendidikanlah yang menurutnya memberikan warna pada kertas tersebut. Rz. Ricky Satria Wiranata (2021) memandang bahwa teori tabula rasa ini mirip dengan konsep fitrah. Namun, menurutnya ada hal fundamental yang terdapat pada konsep fitrah akan tetapi tidak terdapat pada teori tabula rasa yang dikemukakan oleh John Locke diatas.

Hal fundamental tersebut adalah potensi. Apabila teori tabula rasa memandang bahwa manusia ibarat kertas yang putih bersih, kemudian lingkungan yang membuatnya berubah, maka konsep fitrah tidak sekedar memandang manusia sebagai kertas putih bersih yang dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa lingkungan. Namun di dalam konsep fitrah, manusia dipandang memiliki potensi (bawaan) yang berperan sebagai faktor internal dalam proses perkembangan manusia itu sendiri.

Dengan demikian, Rz. Ricky Satria Wiranata (2021) berpendapat bahwa proses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia adalah pendidikan fitrah. Pendidikan fitrah ialah pendidikan yang bersifat humanis-teosentris, atau secara sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan yang memiliki sisi religius. Dimana pendidikan seperti ini jarang kita temukan di dunia barat, disana ilmu pengetahuan dan teknologinya sangat maju namun sisi religiusitasnya rendah bahkan nihil.

Konsep fitrah apabila dikaitkan dengan pendidikan islam maka akan bersifat sangat religius, dimana konsep fitrah di dalam islam menekankan pada pendekatan keimanan, sebab setiap manusia yang dilahirkan membawa potensi keimanan kepada Allah Swt (Wiranata, 2021). Apabila konsep fitrah dalam pendidikan islam ini diterapkan, maka proses pendidikan harus dapat menghadirkan keimanan pada diri peserta didik, yaitu membenarkan Allah dan Rasul-Nya di dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkannya dengan anggota badan.

Pengamalan keimanan dengan anggota badan ialah dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, apabila ada pada diri peserta didik perilaku atau sifat-sifat yang bertentangan dengan fitrahnya (potensi keimanannya) berupa perilaku atau sifat-sifat yang tidak baik, maka sudah sewajarnya dilakukan proses pendidikan (transfer of value) untuk mengganti atau minimal mengurangi perilaku atau sifat-sifat tidak baik tersebut, sebab perilaku/sifat tidak baik tersebut tidak sesuai dengan fitrahnya.

Selama ini proses pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) lebih dominan dibandingkan proses pendidikan yang dilakukan oleh orang tua di rumah. Kemudian hal ini berubah selama pandemi berlangsung, selama pandemi peserta didik lebih banyak menghabiskan waktu belajarnya dirumah karena proses belajar mengajar dilaksankan secara daring (online) oleh pihak sekolah. Dalam kondisi seperi ini, mau tidak mau orang tua harus mendampingi putra/i-nya belajar secara daring.

Khoiruddin Bashori (2021) berpendapat bahwa kondisi pandemi yang memaksa orang tua menjadi guru bagi putra/i-nya adalah hal yang positif, sebab pada dasarnya guru utama bagi peserta didik adalah orang tua mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya kesiapan orang tua untuk menjadi guru utama bagi putra/i-nya. Menurut beliau, bekal ilmu keguruan (disamping ilmu parenting) menjadi penting bagi orang tua dalam menyiapkan dirinya sebagai guru utama bagi peserta didik.

Suparman (2021) menambahkan bahwa orang tua adalah garda terdepan dalam pendidikan anak. Bahkan beliau mengungkapkan bahwa orang tua memiliki peran absolut (tidak tergantikan) perihal pendidikan bagi anak-anaknya.

Adapun peran guru yang berada di lembaga pendidikan, kedepan akan bergeser menjadi “pemandu wisata akademik” (pendamping akademik) bagi para peserta didik, dimana guru tidak lagi menjadi sumber utama dalam belajar seperti dahulu kala. Sumber belajar dapat berasal darimana saja, adapun guru berperan dalam hal mengarahkan, memfasilitasi, dan menjadi teman diskusi bagi peserta didik (Bashori, 2021).

Berdasarkan uraian diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa selain pengaruh faktor eksternal berupa lingkungan, manusia juga dipengaruhi oleh faktor internal berupa potensi (bawaan) yang cenderung terhadap kebaikan. Dengan demikian, pendidikan fitrah menjadi pilihan yang paling sesuai untuk kecenderungan manusia tersebut. Pendidikan fitrah adalah pendidikan yang memiliki sisi religius, dimana proses pendidikannya selain memberikan wawasan iptek kepada peserta didik, proses ini juga menghadirkan keimanan pada diri peserta didik.

Pendidikan fitrah selama ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dengan pendidik sebagai guru utama bagi peserta didik, namun selama pandemi hal ini berubah. Saat ini orang tua menjadi guru utama bagi putra/i-nya. Hal ini dipandang sebagai hal yang positif oleh ahli pendidikan, sebab pada dasarnya guru utama bagi peserta didik adalah orang tua mereka sendiri. [ ]

Leave a Reply

Your email address will not be published.